Klaten - Menjaga Kesehatan Lingkungan merupakan suatu kewajiban bagi setiap individu, selain merupakan anugerah yang diberikan sang pencipta kepada hamba-Nya, Kesehatan Lingkungan harus tetap dijaga agar keluarga kita terhindar penyakit.

Karena kesehatan tidak ternilai harganya. Terkadang pada saat kita sehat, kita lupa akan nikmat tersebut dan ketika sakit kita baru sadar dan merasakan betapa kesehatan itu sungguh sangat berharga.

Hari Jum'at tanggal 19 juli 2019 pukul 07.00  Babinsa Desa Kwarasan Sertu Sudarlan melaksanakan Kegiatan ",GERAKAN PUNGUT SAMPAH",yang dilanjutkan dengan kegiatan bersih - bersih halaman Kantor desa Kwarasan.

Hadir dalam kegiatan Pungut Sampah antara lain:- Babinsa Desa Kwarasan - Seluruh Perangkat Desa Kwarasan - Ibu - ibu Pkk kurang lebih 40 orang.




Kepala Staf Umum TNI, Letjen TNI Joni Supriyanto bersama Danjen Akademi TNI Laksdya TNI Aan Kurnia, S.Sos., pejabat Mabes TNI, segenap Prajurit dan PNS Mabes TNI serta Ibu-ibu Ikatan Kesejahteraan Keluarga TNI Pragati Wira Anggini (IKKT PWA) mengikuti ceramah rohani Islam di Masjid Sudirman Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (17/7/2019).

K.H. Taufiqorrahman, S.Q yang sehari-hari menjabat Pimpinan Ponpes Tahfidzul Qur’an Daarut Taufiq Ar Rahman Cilandak dalam ceramahnya menyampaikan antara lain tentang pentingnya dalam menunaikan Ibadah Haji di Mekkah dan bagaimana implikasi seorang mukmin menjadi Haji Mabrur.

Ditempat terpisah, juga dilaksanakan ceramah agama Katholik di Gereja Bunda Maria Fatima Mabes TNI oleh Romo Antonius Didit Soepartono, Pr Paroki Maria Vianney, agama Kristen Protestan di Gereja Bukit Kasih, Mabesal, Cilangkap oleh Pendeta Lusindo YL Tobing, M.Th GBI Nehemia Jakpus, dan agama Hindu di Pura Tri Jaya Dharma, Mabes TNI oleh Ipda Pol I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H. Satbrimob Polda Metro Jaya.


Sumber berita: Dispenal




Pasca terjadinya kerusuhan massa antara kelompok petani Mesuji Raya dan Kelompok Mekar Jaya pada hari Rabu (17/7) lalu, Komandan Korem 044/Garuda Dempo Kolonel Arh Sonny Septiono menyambangi Desa Pematang Panggang Kec. Mesuji Kab. OKI yang disambut oleh Dandim 0402/OKI Letkol Inf Riyandi bersama Kapolres OKI ABKP Donni Eka Syahputra, Jumat (19/7/2019).

Kedatangan Danrem 044/Gapo dan rombongan langsung menuju di kediaman salah satu korban bentrokan antar warga, yakni (Alm) Rowi Bin Skop yang beralamat di Desa Pematang Panggang Kec. Mesuji Kab. OKI untuk bertatap muka dengan masyarakat bersama perangkat Desa.

Dalam sambutannya, Danrem 044/Gapo mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya terhadap keluarga korban yang ditinggalkan agar tabah dan ikhlas menerima. “Untuk permasalah yang terjadi agar masyarakat menahan diri karena proses hukum telah berjalan sesuai hukum selaku. Dan apabila masyarakat mengambil langkah sendiri diluar hokum, nanti akan merugikan diri sendiri dan keluarga”, ungkap Danrem.

Hindari balas dendam, lanjut Danrem 044/Gapo, karena tidak akan selesai jika melakukan balas dendam. TNI-Polri yakni Kodim dan Polres akan mengawal permasalahan ini sampai dengan selesai. “Semoga kejadian ini tidak akan terulang dikemudian hari sehingga kita dapat hidup dalam keadaan rukun dan damai sesama masyarakat. Jangan terprovokasi atas berita-berita hoaks yang tersebar di Medsos”, ujarnya.

Diakhir kunjungannya, Danrem 044/Gapo beserta rombongan memberikan santutan terhadap keluarga korban yang ditinggalkan.

Warga sekarang sudah mulai beraktivitas seperti biasa, dan sekarang personel dari Kodim bersama dari Polres OKI juga masih disiagakan guna menjaga dan memantau perkembangan situasi agar tetap kondusif.

(penrem Gapo)



Kubu Raya, Kalbar - Jumat (19/7/19) - Komando Daerah Militer (Kodam) XII/Tanjungpura menggelar acara syukuran dan doa bersama dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kodam XII/Tpr ke-61, di Lapangan apel Makodam XII/Tpr, Jalan Arteri Alianyang, Kubu Raya, Kalbar. Acara diikuti oleh seluruh prajurit, PNS dan keluarga besar Kodam XII/Tpr.

Pangdam XII/Tpr, Mayor Jenderal TNI Herman Asaribab bertindak sebagai pimpinan acara. Acara juga dihadiri Kasdam XII/Tpr, Kapoksahli dan Pasahli Pangdam XII/Tpr, Para Asisten Kasdam XII/Tpr, Komandan dan Kabalak Kodam XII/Tpr serta Ketua Persit KCK PD XII/Tanjungpura.

Pangdam XII/Tpr, Mayor Jenderal TNI Herman Asaribab dalam sambutannya menyampaikan, acara syukuran dan doa bersama tersebut digelar dalam rangka hari jadi ke-61 Kodam XII/Tpr. Sebagai wujud syukur serta untuk memohon keberkahan, kesuksesan dan kesehatan kepada Tuhan YME. Semoga apa yang Kodam XII/Tpr cita-citakan dapat diraih.

"Selain itu juga untuk mendoakan rekan kita yang hilang kontak saat terbang menggunakan heli di Kabupaten Oksibil, yang sampai dengan saat ini belum ditemukan," ujar Pangdam XII/Tpr.

Disampaikan juga olehnya, acara syukuran diselenggarakan untuk meningkatkan kebersamaan diantara keluarga besar Kodam XII/Tpr. Rasa kebersamaan sangat penting diperlukan dalam rangka memajukan Kodam XII/Tpr.

"Panglima berdiri disini karena diberi tanggung jawab, dibelakangnya ada kalian, Kodam ini maju karena ada kalian bukan panglima tapi kalianlah yang membuat satuan ini maju," tegas Pangdam XII/Tpr.

Mengakhiri sambutan Pangdam XII/Tpr, Mayor Jenderal TNI Herman Asaribab mengharapkan kerja sama dari seluruh anggota Kodam XII/Tpr untuk dapat bersama-sama memajukan kodam agar lebih bermartabat di jajaran TNI AD.

"Saya mengucapkan kepada seluruh prajurit, PNS dan keluarga besar Kodam XII/Tpr serta jajaran Dirgahayu ke-61 Kodam XII/Tpr Caratana Jitavina Sekali Melangkah Pantang Menyerah," ucap Pangdam XII/Tpr.

Ditengah acara Pangdam XII/Tpr didampingi Kasdam XII/Tpr memberikan apresiasi pada prajurit berprestasi. Dengan menyerahkan berupa piagam penghargaan kepada Sertu Surya S. Anwar anggota Kodam XII/Tpr yang telah berprestasi mendapatkan senjata api dari masyarakat perbatasan sebanyak 30 pucuk terdiri atas 24 pucuk senpi rakitan laras panjang dan 6 pucuk pistol rakitan.

Selanjutnya pada akhir acara juga dilakukan pembagian doorprize pada prajurit, PNS dan Keluarga besar Kodam. Dengan hadiah utama berupa 6 buah sepeda motor, 11 buah mesin cuci, 9 unit mesin kulkas, 9 unit TV 32 Inchi, 13 sepeda dan ada ratusan hadiah hiburan lainya. (Pendam XII/Tpr)


Cilacap - Mbah Wahja (75) wanita tua yang tinggal dirumah reot di RT 01/03 Dusun Cimrutu Desa Cimrutu ini menangis haru ketika Anggota Satgas TMMD Sengkuyung II Kodim 0703/Cilacap mendatangi rumahnya. Menangisnya bukan tanpa sebab karena rumah yang dihuninya selama puluhan tahun akan direhab TNI.

" Kulo bungah amargi gubug kulo ajeng dibangun kalih bapak-bapak tentara, " ungkap Mbah Wahja dengan logat jawanya sambil mengusap air matanya kepada Sertu Basuki, Kamis (18/07/19).

Ungkapan Mbah Wahja ini tentu membuat Sertu Basuki sedih. Pasalnya rumah yang dihuni oleh wanita tua ini kondisinya sangat memprihatinkan. Posisi rumahnya sudah tampak miring karena kayu penyangganya sudah lapuk dimakan usia. Sedang bagian dalam rumahnya hanya lah tersedia perabotan ala kadarnya yaitu tempat tidur dan almari yang sudah rusak.

" Terus terang saya sangat sedih, karena dijaman seperti ini masih banyak rumah yang tidak layak huni seperti rumah Mbah Wahja ini, " terang Sertu Basuki.

Kedatangannya selain melihat kondisi rumah Mbah Wahja juga ditemani beberapa anggota Satgas TMMD lainnya dan juga beberapa warga masyarakat sehingga saat itu juga rumahnya akan segera dibangun terlebih lagi material bangunan yang dari kemarin sudah tersedia, siap untuk segera dipakai.

" Direncanakan rumah Mbah Wahja ini akan dibongkar total karena bangunannya sudah tidak layak untuk digunakan lagi dan akan kita bangun didepannya karena sebelumnya sudah ada pondasi rumah yang telah dibangunnya." sebut Sertu Basuki.

(Urip)


Salatiga, Jateng - Ratusan Warga Salatiga dan sekitarnya mengikuti jalan Sehat dalam rangka Memperingati Hari koperasi Ke-72 & Hari Jadi kota Salatiga Ke-1269 Tahun 2019, selain warga masyarakat kegiatan yang dilepas langsung oleh Walikota Salatiga ini diikuti juga oleh Anggota TNI,Polisi serta jajaran instansi pemerintahan di kota Salatiga,Jumat (19/07)

Yulianto.SE.MM dalam sambutannya menyampaikan , Dengan memperingati hari jadi koperasi yang ke 72 dan hari jadi kota Salatiga ke1269 Tahun 2019,Kita meriahkan kota salatiga dengan kegiatan jalan sehat bazar dan donor darah ,Dengan berkoperasi kita akan membangun ekonomi kerakyatan dan koperasi menjadi kuat rakyat sejahtera ekonominya dengan bergabung menjadi anggota koperasi. Banyak memperingatkan kunjungan baik Bagi masyarakat sekitar dan kususnya Bagi pembangunan untuk masyarakat indonesia dengan menjadi anggota koperasi.

Selain Jalan Sehat kegiatan pagi ini juga diisi dengan Donor darah dari PMI Salatiga, Bazar murah bagi warga serta hiburan dan ,Pembagian hadiah jalan sehat.(Pendim0714)


Surakarta, Adzan Jumat berkumandang menggema mengudara memanggil Umat Muslim khususnya Kaum Muslimin agar segera meninggalkan pekerjaan sebentar guna melaksanakan sholat Jumat berjamaah. begitu juga Kepala Staf Kodim (Kasdim) 0735/ Surakarta Mayor Inf Alfian Yudha Praniawan bersama-sama dengan segenap unsur Muspida Kota Surakarta melaksanakan safari sholat jum’at keliling di Masjid Tjokro Soekarno Jln.Dewi Sartika No.8, Kelurahan Danukusuman, kec Serengan, kota Surakarta. Jumat (19/7/2019).

Dalam Kegiatan Sholat Jumat ini bertintak sebagai Imam dan Khotib.Drs H.Imam Suhadi  Msi (Wakil MUI kota Surakarta) Beliau mengajak kepada seluruh jamaah untuk meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Alloh SWT, dan selalu mensyukuri segala nikmat yang telah di berikan kepada kita, Khotib juga menyampaikan dalam rangka menyambut Hari Raya 'Idul Adha maka kita di anjurkan untuk menyumbangkan Hewan Qurban Bagi yang Mampu.

Wakil Walikota Surakarta Dr.H Ahmad Purnomo menyampaikan Bahwa kegiatan Safari Sholat Jumat ini selain untuk menjalin Silahturahim, juga untu mengenal langsung dengan warga kota Solo, sehingga apabila ada permasalahan maupun keluhan Warga, dapat di sampaikan secara langsung.

Sementara itu Dandim 0735/Surakarta, melalui Kasdim Mayor Inf Alfian  Yudha Praniawan menuturkan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan rutin setiap hari Jum’at yang dilaksanakan oleh Forkompimda dan kodim 0735/Surakarta.

Menurutnya, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keakraban dan kebersamaan anggota TNI khususnya dengan warga binaanya dalam berbagai kesempatan, salah satunya dalam kegiatan keagamaan seperti Sholat Jum’at bersama.

“Kita terus berupaya mendekatkan diri dengan warga masyarakat, agar terbina hubungan yang harmonis dan kekeluargaan,” tuturnya.

Hadir dalam kegiatan Tersebut Wakil Walikota Solo, Dr. H Ahmad Purnomo, Kasdim 0735/ Surakarta Mayor Inf Alfian Yudha, Danramil Serengan Kapten Inf Tri Sakti, Kapolsek Serengan Kompol Giyono, Angota Koramil Serengan dan seluru warga jamaah masjid Al Hidayah. yang di Hadiri 250 Jamaah.

(Agus Kemplu Pendim Solo)


Kab.Bener Meriah, Aceh - Babinsa Koramil 09/PRG Kopda Eko Sugianto bersama masyarakat dan Mahasiswa dari Universitas Samudra ( Unsam ) Kota Langsa yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata bergotong royong membersihkan rumput yang berada di Tugu Radio Republik Indonesia ( RRI ) Rimba Raya Kampung Rimba Raya Kec. Pintu Rime Gayo Kab. Bener Meriah, Jum'at (19/07/2019).

Menurut Babinsa, Tugu Radio Rimba Raya mempunyai peran yang sangat penting dalam perjuangan, khususnya pada Tahun 1948 saat Belanda mengumumkan bahwa Indonesia tidak ada lagi, saat itu Radio Rimba Raya dengan lantang mengumumkan bahwa Indonesia masih ada, dalam siarannya yang bisa ditangkap di luar negeri, sehingga dunia tahu jika Indonesia masih ada.

Kali ini untuk gotong royongnya kata Babinsa terfokus pada pembersihan seputaran monumen tersebut, baik itu rumput yang tumbuh liar, lumut-lumutan yang menempel serta pembuatan tulisan dari potongan bambu yang dibuat dengan rapi dan sedemikian rupa.

Dengan adanya karya bhakti ini, semoga Tugu atau Monumen bersejarah tersebut tetap terawat dengan baik, bersih, rapi dan indah, sebab selain menjadi tempat bersejarah, juga menjadi salah satu objek wisata yang menarik untuk dikunjungi di Kabupaten Dataran Tinggi Gayo yang terkenal akan panorama alamnya serta udara segar, Ujar Kopda Eko.  (IM)



Blitar - Personel Satgas TMMD Kodim 0808/Blitar sholat Jum'at bersama masyarakat bertemat di Masjid Jami' Baitul Aziz Desa Karangbendo Kecamatan Ponggok Kabuaten Blitar, Jum'at (19/07/2019).

Kapten Cba Chudori mengatakan untuk seluruh personel Satgas TMMD yang muslim ini merupakan salah satu bentuk pembinaan mental bagi prajurit serta menumbuh kembangkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kegiatan beribadah seperti ini bertujuan untuk meminta doa kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan dan kesuksesan dalam melaksanakan pekerjaan TMMD, serta untuk memupuk rasa kebersamaan yang semakin erat antara personil Satgas TMMD ke - 105 dengan masyarakat setempat, sehingga bisa menghasilkan kinerja yang baik serta saling bahu-membahu dalam menyelesaikan pekerjaan.

Lanjut melalui kegiatan sholat berjama'ah bersama personel Satgas dan warga diharapkan akan semakin mempererat tali silaturahmi, menjalin persaudaraan antara personel Satgas TMMD dengan Perangkat Desa, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan segenap warga desa di lokasi TMMD.

Sehingga terjalin kerjasama yang baik serta terciptanya situasi kondusif demi keberhasilan tugas pokok TMMD ke 105 Kodim 0808/Blitar, ucapnya (Red).



Blitar - kebanggan seorang prajurit TNI tidak hanya bertanggung jawab dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kebanggaan seorang prajurit TNI juga dapat mewujudkan kemanunggalan antara TNI dengan Rakyat, salah satunya melalui Program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD), Jum'at (19/07/2019).

Hal ini dirasakan oleh Kopda Yogi (35) asal sidoarjo yang sehari-harinya berdinas di Yon Zipur 5 Kepanjen merasa senang dan bangga bisa tergabung dalam Satgas TMMD ke 105 Kodim 0808/Blitar.

"Suatu kehormatan dirinya bisa tergabung dalam Satgas TMMD ke 105 Tahun 2019 Kodim 0808/Blitar, karena ini salah satu tugas yang mulia dimana tugas ini nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat.

"Setiap tugas yang diberikan oleh satuan kepada saya merupakan suatu kehormatan dan kebanggan. "ujar Kopda Yogi disela sela kegiatannya (Red).




Prasasti Adan-Adan terdiri atas 17 lempeng tembaga berukuran panjang 37,5 cm, lebar 12 cm dan tebal 4 mm, sedangkan ukuran hurufnya adalah tinggi 7 mm dan lebar 6 mm. Setiap lempeng memuat 4 baris tulisan yang ditulis dengan huruf Jawa Kuna.



Prasasti yang ditemukan di Desa Mayangrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur oleh Pak Mardjuki dengan kedalaman 0,50 meter dari permukaan tanah sekitarnya.

Prasasti Adan-Adan kini disimpan di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, Jawa Timur namun replikanya akan dibuat dan ditaruh di Museum Rajekwesi, Bojonegoro, Jawa Timur.



Isi Prasasti

Pertanggalan: tertulis tahun 1223 Çaka (1301 Masehi), ditulis pada hari Sanaiscara (Sabtu), pasaran Umanis (Legi), tanggal 15 (Pancadasi) bagian bulan gelap (Krsnapaksa) dalam bulan Srwana, wuku Madangkungan, dewanya Pitr (Pitr-dewata), yoganya Siwa (Siwa-yoga).



Nama Raja: nama kecil raja disebut Nararyya Sanggramawijaya, nama setelah dinobatkan Krtarajasa Jayawardhana. Disebut nama gelar: Sri Jayakatyengrajati-ripujaya (penghancur raja Jayatyeng).

Nama Permaisuri Raja: kesemuanya putri raja Kertanegara, di antaranya: Sri Bhuwanaswari (sebagai parameswari), Sri Rajendradewi (sebagai Sri Mahadewi), Prajnyaparamita (sebagai Jayandradewi).

Jabatan: beberapa pejabat tinggi kerajaan, di antaranya: Rakryan Mantri Hino, Rakryan Mantri Sirikan dan Rakryan Mantri Halu.



Penetapan Pembebasan Tanah (Sawah) di Adan-Adan dari kewajiban membayar pajak. Maksudnya Desa Adan-Adan diangkat statusnya menjadi sebuah sima atau daerah perdikan atau daerah swatantra. Daerah ini diberikan kepada seorang Pendeta Raja (Pendeta Kraton) atau seorang Rajarsi. Karena Sang Rajarsi telah berbakti kepada Raja Krtarajasa, mengikuti segala penderitaan raja (walkaladhari/memakai pakaian kulit kayu), bertingkahlaku susila (sila suddhacara) taat menjalankan ibadah agama (dharmacintana).



Batas-batas Desa Adan-Adan sebagai tanah lungguh, yaitu: Desa Tinawun, Kawengan, Jajar, Patambangan, Tambar, Padasan, Punten, Rakameng, Kubwan-agede (Kebo-gede), Paran, Panjer dan Sanda.



Kalimat kutukan bagi siapa saja yang berani merubah putusan raja akan digigit ular, disambar petir, diterkam harimau, pecah kepalanya, keluar ususnya. ***  sumber : Kekunaan
sidorjobanget.blogspot.com [foto]



Watutulis adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.

Watutulis di Prambon Sidoarjo banyak menyimpan sejarah peradaban babad tanah Jawa yang ada, di sini terdapat sebuah candi peninggalan dari kerajaan kahuripan.

Tapi sayangnya kondisi candi sudah sangat memprihatinkan. Akibat ulah dari pihak yang fanatik keberadaan sisa-sisa candi dibongkar dan ditumpuk saja. Hingga menghilangkan peninggalan sejarah yang sangat penting.

Kini tempat asal berdirinya candi tersebut dibangun 2 buah makam, yang dipercaya oleh beberapa pihak sebagai makam Syeikh Subachir dari Persia. Namun sebenarnya hal ini rekayasa dari pihak yang tidak bertanggung jawab, bahwa sebenarnya makam tersebut kosong dan Syeikh Subachir tidak ada hubungannya dengan tempat ini. Lebih tepatnya, selain candi tempat ini juga petilasan dari Mbah Joyo (Babad Alas Desa Watu Tulis

berada di tengah persawahan dan di sekitar area candi ditumbuhi beberapa pohon besar yang menambah kesejukan area candi.ketika mencoba masuk ke area candi saya menjumpai 2 makam dan sumur yang airnya dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit kata bapak buadi sang penjaga candi.disamping sumur juga ada tumpukan batu berupa candi yang sering dipakai ritual

(sidoarjobanget)


Nama Airlangga mengingatkan kita pada sebuah perguruan tinggi terkenal di Surabaya. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa di Sidoarjo, Jawa Timur berdiri sebuah prasasti kuno warisan Raja Airlangga yang dijadikan destinasi menarik

Prasasti Airlangga terletak di Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Prasasti ini memiliki ukuran tinggi 2,20 m, lebar 1,16 m dengan ketebalan 29 cm. Prasasti ini terbuat dari batu monolit pipih yang sudah sedikit aus permukaannya. Di samping prasasti ini terdapat sebuah batu kecil yang konon setiap tahun bertambah tinggi.

Dari isinya, prasasti ini menceritakan tentang adanya tambak yang diserahkan kepada masyarakat untuk dikerjakan. Selain itu, rakyat tidak diharuskan untuk menyetor pajak kepada kerajaan, karena sawah itu untuk menunjang kemakmuran rakyat sekitar yang menjaga kejernihan Sungai Kalagyan. Namun, kemakmuran rakyat sirna setelah diserang air bah dari Sungai Brantas, yang menenggelamkan tanah maupun sawah rakyat.



Bagian pertama prasasti ini berbunyi sebagai berikut:

Sira ratu cakrawarta umanun pamanghanikan rat hita pratidina panlingananikan sabhuwanari tan sharta kewala cri maharaja, yawat kawanunann yaca donanya, an kapwa kinalimban juang denira, sahana san hyan sarwwa dharma kabeh.

Yang artinya kurang lebih sebagai berikut:

“Seorang bisa memutar roda dunia ini, apabila ia membuat dan menemukan hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Apabila di dunia ini ada tanda tidak makmur, hanyalah Cri Maharaja [yang bertanggung jawab]. Tujuannya ialah untuk membuat jasa oleh Cri Maharaja agar selalu diperhatikan semua tempat-tempat makam suci.”

Sumber:  [Kekunaan]
Endang Prasanti dalam Buletin Museum Mpu Tantular Nawasari Warta edisi Desember 2011 hal. 7.

Nama Coban Rondo dan coban Rais sudah tak asing lagi terutama bagi warga Jawa Timur khusunya Pasuruan dan kota-kota sekitar. Karena berada di daerah dataran tinggi, kota Batu Malang  memiliki beberapa wisata air terjun yang sangat indah. Dua di antaranya adalah Coban Rais dan Coban Rondo. Coban Rondo adalah wisata air terjun yang cocok dikunjungi bersama keluarga, karena jarak antara air terjun dan pintu masuk serta jalanan lebih mudah diakses bagi pengunjung

Lokasi dari Coban Rondo  berada di Desa Pandansari, Kecamatan Pujon. Air terjun di Coban Rondo memiliki ketinggian 60 meter. Di sini juga terdapat taman labirin yang sangat cocok untuk lokasi berfoto dan bermain. Sangat cocok juga untuk wisata keluarga, penelitian serta berkemah. Mengingat alam pemandangan di sana sangatlah indah.

Coban Rondo, itu dia. Beda lagi dengan Coban Rais adalah wisata air terjun yang patut  kita kunjungi bersama teman-teman karena di sini Anda bisa berkemah menikmati pemandangan alam di bukit bintang bersama teman-teman.

Ketika hari sudah mulai petang,  waktu usai senja. Di perbukita Coban Rais ini  kita bisa berbaring merebahkan diri beralaskan rumput. Kita bisa leluasa menikmati ndahnya panorama alam dan langit yang indah penuh bintang-bintang.  Selamat berlibur bersama keluarga dan sahabat tercinta. Jangan lupa jaga stamina, kesehatan dan bawalah bekal secukupnya.   (r)



Kisah Mistis Horor dan Menakutkan, Diculik dan Dipaksa Menikah dengan Bangsa Siluman
Kisah spiritual yang dialami oleh lelaki yang satu ini memang tergolong unik dan langka. Kendati tidak“memiliki kemampuan apa-apa dalam ilmu gaib, ternyata bukan halangan untuk mengalami haI hal yang di luar akal sehat manusia.

”Waktu itu bulan September tepatnya malam Senin," tutur lelaki yang bernama Ruslan, 54 tahun. Lelaki yang sehari-hari menggarap kebun sayuran di daerah transmigrasi Sampit, Kotawaringi Timur, Kalimantan Tengah, ini mengaku mengalaminya saat dalam perjalanan menuju ke sebuah desa di kawasan itu untuk mengunjungi keponakannya.

Kunjungan tersebut maksudnya sekaligus untuk mengurus satu pekerjaan yang ia geluti bersama sang ponakan. .

Di tengah perjalanan, saat senja di Km.37, Ji. Sudirman, tiba-tiba perjalannya terganggu oleh sebuah sepeda motor RX  King yang melintang di tengah jalan. Heran dan penasaran ingin tahu milik siapa kendaraan itu, ia lantas turun dari sepeda motornya dan mengamati.

"Motor siapa ini?” Pikirnya bingung. Sebab pikirnya bodoh sekali seseorang meletakkan sepeda motor begitu saja di tempat seperti itu, atau jangan-jangan pemiliknya tewas dibunuh? Pikimya menduga-duga.

Dengan perasaan berdebar Ruslan mencoba menunggangi motor misterius tersebut tapi apa lacur? Mendadak sepeda motor itu hidup dan melesat sebelum Rusian sempat berpikir apa sesungguhnya yang telah terjadi.

"Motor itu tiba-tiba melaju kencang menerobos hutan, bahkan bannya tidak menyentuh tanah,” tuturnya mengenang kejadian mendebarkan itu. Ruslan tentu saja panik, tapi tak bias berbuat apa-apa. Di perjalanan ajaib itu ia merasakan tanah yang dilaiuinya berupa tumpukan kayu setinggi satu meter, yang diseiingi dengan bebatuan berwarna hitam.

Dalam sekejap pemandangan di sekitarnya tiba-tiba berubah, dari semak belukar menjadi sebuah kota yang megah gemerlap. Ruslan terpana melihat keajaiban itu. Sepeda motor yang ditungganginya terus meluncur cepat dan berhenti sendiri di depan sebuah rumah bordil yang sangat sumringah suasananya.

”Aku turun dengan kepala sedikit pusing akibat berputar-putar sesaat, lantas kulihat ada seorang perempuan setengah tua keluar dari bangunan itu dan terus menghampir-iku,” Ianjut Ruslan.

Menurutnya, perempuan itu berwajah biasa saja, berbeda dengan cerita orang- orang tentang makhluk gaib yang berwajah cantik._PenampiIannyapun seadanya saja. Rambut ikal dengan baju tidur, hanya saja wajahnya yang disaput bedak tebal yang menunjukkan bahwa dia adalah salah satu penghuni rumah bordil itu.

Selanjutnya oleh perempuan itu Ruslan dituntun ke dalam rumah. Ruslan menurut saja bagai kerbau dicocok hidungnya.

”Kau harus mau jadi simpananku,” kata perennpuan berusia sekitar 45 tahun itu tanpa tedeng aling-aling.

Ruslan terperanjat. Perempuan itu tersenyum menggoda dan memegang pundaknya. Ia ingin menolak tawaran itu, tapi lidahnya terasa kelu.

”Aku adalah pimpinan di sini. Jangan kuatir, anak buahku banyak yang cantik, kau bisa pilih mereka sesukamu asal kau mau jadi suamiku, bagaimana?“

Ruslan tergagap, ”Ti..tidak mungkin...aku sudah punya istri!” Katanya sambil terus berupaya melepaskan tangannya dari pegangan perempuan itu.

Tapi perempuan itu makin memperketat pelukannya. ”Kalau kau tidak mau kau akan kubikin celaka...!” Ancam perempuan itu dengan suara berdesis marah.

Matanya melotot memerah membuat Ruslan ketakutan. Tapi Ruslan tetap bersikeras dengan pendiriannya dan mendesak ingin diantarkan pulang.Akhirnya perempuan itu benar-benar marah.

Tiba-tiba dipangilnya seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar. Orang itu mengenakan pakaian kulit binatang seperti baju orang-orang zaman batu. Dengan sebuah pentungan besar Ruslan dipukul di bagian pundak hingga pingsan.

Dalam keadaan pingsan itulah dia merasakan sekelilingnya kembali berubah. Kali ini berada di sebuah tanah lapang tak terbatas, tapi anehnya setiap sekian hektar terdapat sekat-sekat pembatas berpagar yang tiap sekatnya dihuni oleh orang- orang dalam berbagai ekspresi, ter-gantung penyebab kematiannya.

Cahayanyapun berbeda pula. Tiap-tiap sekat dihuni oleh sekelompok orang yang sebaian di antaranya telah dia kenal, namun semuanya telah meninggal dunia.

”Saat itu entah mengapa ada kesadaran bahwa aku berada di ambang batas kematian, bulu kudukku langsung merinding. Dan aku terus melafadzkan ayat-ayat suci AI-Qur’an,".

Dalam pencariannya menuju jalan keluar,dia berpapasan dengan orang-orang yang berada di dalam sekat,anehnya dia sendiri tidak terperangkap dalam salah satu sekat itu. Tiap tempat dengan bebas dilaluinya hingga dia bebas melakukan diaiog dengan penghuni di sekitarnya.

Dari dialog itulah Ruslan tahu bahwa tiap sekat dihuni oleh orang yang meninggal dengan cara yang berbeda, dan cahaya yang berbeda pula. Menurut kesaksian  sekat yang dihuni arwah orang yang mati kecelakaan mernancarkan cahaya seperti lampu 25 watt, sangat redup.

Sedangkan sekat yang dihuni orang yang mati karena aborsi bercahaya lebih redup Iagi seperti lampu 5 watt.Berbeda dengan alam orang yang mati syahid, cahayanya terang seperti lampu neon.

Saat asyik berdialog dengan beberapa temannya yang telah meninggal dunia, tiba-tiba saja tubuhnya tersedot ke dalam cahaya terang dan setelah sadar ternyata dia telah berada di Rumah Sakit Umum Kota Sampit dan dikelilingi oleh anak istri dan sanak keluarganya.

Dari sanak keluarganya itulah dia diberitahu bahwa dirinya ditemukan dalam keadaan pingsan oleh seorang pencari kayu, yang kemudian dibawa ke rumah kepala desa setempat untuk selanjutnya dibawa ke rumah sakit.


Menurut kerabatnya, Ruslan telah menghilang selama tiga hari.Kejadian itu tidak berhenti sampai di situ, sebab di hari-hari berikutnya Ruslan selalu merasa diikuti oleh mata-mata yang dikirim oleh perempuan yang menggodanya dialam halus.

Mata mata itu seorang perempuan cantik berusia sekitar 17 tahun yang mengaku bernama Husnul Fatimah. Ruslan mengaku sering ditemui oleh perempuan itu di kala dia dalam kesendirian, tapi sejak beberapa hari terakhir perempuan itu tak pernah mengikutinya lagi semenjak dia diobati oleh seorang paranormal setempat.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Hanya Tuhan-lah yang bias menjawabnya.

Sumber; Misteri



Sebagai bidan desa hamper setiap hari Rosa memberikan pertolongan kepada masyarakat setempat, baik menolong ibu-ibu yang akan melahirkan,maupun memberikan pengobatan medis terhadap warga masyarakat yang memerlukan bantuannya.

Memang, di antara sekian jumlah bidan yang ada di desanya,Rosa termasuk bidan bertangan dingin dan berhati lembut. Karena itulah dia bukan saja terkenal dengan julukan "Si Tangan Salju”di kampungnya, akan tetapi juga populer dikampung lain dengan sebutan tersebut.

Apalagi Rosa tidak pernah memasang tariff berlebihan, terutama terhadap orang yang dinilainya kurang mampu.

Pada suatu malam, kebetulan malam Jum’at Kliwon, hujan baru saja reda ketika jarum jam menunjukkan pukul 01.00 tengah malam. Rosa terbangun karena mendengar suara pintu diketuk dari luar,disusul suara orang yang memberi salam,

”Assalammu ’alaikum. .. ”

”ini pasti ada tetangga yang mau minta tolong,” pikirnya. Setelah merapikan pakaiannya, Rosa pun membangunkan suaminya, kemudian menuju pintu seraya menyambut salam tersebut, ”Wa’alaikum salam...!”

Ketika pintu dibuka, ternyata dihadapannya ada seorang laki-Iaki memakai jaket hitam bertubuh sedang. Dari raut wajahnya, dia kelihatan sangat cemas. Walaupun Rosa dan suaminya, Siswoyo, tidak mengenal pria itu, namun mereka menyapa dengan ramah dan mempersilahkannya masuk.

”Silahkan masuk, Pak, Apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya Rosa, penuh keramahan.

”Saya dari kampung Sukamaju. Mau minta tolong, Bu Bidan. lsteri saya sedang sakit dan butuh perawatan dengan segera,” ujar pria itu.

Rosa menoleh ke suaminya. Tanpa curiga, Siswoyo mengangguk, tanda mengizinkan isterinya untuk menolong isteri lelaki itu.

”Baiklah, tapi sebentar saya siapkan peralatan dulu ya, Pak!" Jawab Rosa, kemudian. Dia pun segera berlalu untuk mengambil alat-alat medis.

”Duduklah dulu, Pak!" Siswoyo mempersilahkan tamunya untuk duduk.

”Terima kasih, Pak! Biarlah saya di sini menunggu lbu Bidan!” Ujar sang tamu,takzim.

Tak lama kemudian Rosa sudah siap dengan peralatannya. Meski udara malam semakin menusuk sumsum, namun Rosa tak peduli. Dia berangkat bersama pria yang menjemputnya.

Suaminya, terpaksa tidak dapat ikut karena harus menjaga rumah. Maklum,mereka memang tinggal berdua di rumah dinas yang sederhana itu.

Malam itu udara cukup lembab dan dingin. Suasana sunyi mencekam, Rosa dibonceng pria dengan sepeda motor Honda Astrea. Kendaraan roda dua itu meluncur kencang menuju Kampung Sukamaju, tidak jauh dari Kampung Sipule-pule, tempat Rosa tinggal.

Sekilas, Bidan desa ini merasa heran,m engapa? Karena walaupunjalan itu berbatu namun tak terasa berbatu, bahkan dia merasa sepeda motor yang dinaikinya bagaikan meluncur di jalan beraspal mulus.

Meski merasa sedikit aneh, namun Rosa tetap bersikap tenang. Sampai kira-kira 15 menit di perjalanan,mereka tiba disebuah rumah terpencil yang gelap, tak terlihat tanda-tanda ada rumah lain di dekatnya.

Pria setengah baya itu menghentikan kendaraannya. Dari sorot lampu sepeda motor, samar-samar Rosa melihat rumah tinggi berdinding kulit kayu dan atap rumbia. Rosa sempat memandang sekelilingnya.

Gelap gulita tak ada Iistrik atau lampu biasa. Hanya kunang-kunang yang terbang berkelip. Untuk mencapai pintu rumah kayu yang aneh itu dia melihat harus menaiki tangga kayu yang cukup tinggi.

"Silahkan naik, Bu! Ya, beginilah keadaan rumah kami,” ujar pria itu sambal menaiki tangga. Rosa mengikutinya dengan hati-hati. Satu, dua, tiga, dia menghitung anak tangga itu, yang ternyata kesemuanya berjumlah 12 anak tangga.

Di rumah aneh tanpa kamar dan jendela itu hanya diterangi sebuah lampu minyak tanah terbuat dari kaleng bekas cat. Udara dingin dan remang-remang dalam ruangan itu menambah suasana semakin mencekam.

Walaupun bulu kuduk Rosa mulai berdiri,namun dia masih bersikap tenang menyembunyikan perasaan takutnya.Seorang wanita paruh baya tergeletak lemas di sudut ruangan, tanpa tilam dan bantal.

Wajahnya terlihat pucat terkena sinar lampu minyak yang kadang-kadang nyaris padam ditiup angin yang berhembus dari celah-celah dinding yang terbuat dari kulit kayu.

Wanita yang bertangan salju itu mengeluarkan peralatan medisnya, lalu dia memeriksa tekanan darah wanita itu. Namun dia sempat terperangah karena alat tensi menunjukkan tekanan darah wanita itu berada pada angka 20.

"Pak, tekanan darah ibu ini sangat rendah,” ujarnya kepada pria yang sejak tadi duduk di samping isterinya dengan wajah cukup tenang. ”Ibu ini harus dibawa ke rumah sakit, Pak!" Tambah Rosa dengan nada cemas.

Sambil menggelengkan kepala, pria itu berkata, "Ah, tak usahlah, ibu saja yang mengobatinya!” Jawab si pria.

Rosa tak berani memaksa, apalagi melihat keadaan mereka yang sangat memprihatinkan. Dia sempat berpikir,mengapa pihak pemerintah desa tidak tanggap terhadap warganya yang hidup  jauh di bawah garis kemiskinan, padahal ada program bantuan kesehatan terhadap warga pra sejahtera.

Dalam kebingungan bercampur cemas, Rosa meminta agar wanita itu memakan pil, lalu menyuntik wanita itu pada bagian lengan kirinya. Akan tetapi, Rosa semakin heran karéna dia seperti menancapkan jarum suntik pada sehelai kain.

Ya, tangan wanita itu hanya seperti tulang dibalut kulit tanpa daging. Rosa cepat cepat rnencabut jarum suntikannya. Dia sangat terkejut ketika melihat tiba-tiba wanita itu bangun lalu berdiri dan berjalan menuju pintu dapur seolah-olah dia tidak sedang dalam keadaan sakit.

Sambil berkemas, Rosa sempat melirik ke wajah wanita yang barusan ditolongnya. Jantungnya berdebar terus ketika samar-samar dia melihat sepasang gigi taring menyelip di balik bibir wanita tersebut. Bulu roma Rosa berdiri meremang.

Akhirnya, dia buru-buru pamit dan meminta pria itu mengantarnya pulang walaupun pil dan biaya suntikannya belum dibayar.

"Pak, tampaknya isteri Bapak ini sudah sembuh, tolong saya diantar pulang,” ajaknya. Laki-laki itu mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun.

Karena rasa takut yang nyaris sempurna menjalari relung hatinya, maka Rosa tak sempat lagi berpamitan kepada wanita itu. Dia segera menuju pintu dan bersiap akan menuruni anak tangga.

Namun tiba-tiba pria yang akan mengantarnya pulang malah memegang tangannya. Hal ini membuat Rosa terperanjat, dan nyaris saja jatuh.

Perasaan takut semakin menghantui dirinya. Namun belum habis rasa takutnya, dan entah kapan dia menuruni 12 anak tangga itu, tiba—tiba dia baru sadar kalau ternyata dirinya sudah berada di halaman rumah, bahkan sudah duduk di boncengan sepeda motor pria yang akan mengantarnya pulang.

Rosa diam terpaku di boncengan pria yang mengendarai sepeda motor itu. Udara dingin bercampur rasa takut membuat wajah Rosa pucat  seakan takberdarah. Sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi di atas jalan berbatu, namun perjalanan tak ubahnya seperti di jalan beraspal yang mulus.

Sayup-sayup terdengar kokok ayam disudut kampung bersahut-sahutan. Rosa tak sabar ingin cepat sampai di rumah. Tiba-tiba, sekitar jarak 200 meter sebelum sampai ke rumahnya, pria itu menghentikan kendaraannya.

"Bu, sampai disini saja, ya!” Ujar pria itu membuat Rosa merasa gusar bercampur takut.

”Lho, rumahku itu di depan sana,Pak.Tidak berapa jauh lagi kok," jawab Rosa.

“Ah, tak bisa, cukup sampai di sini saja,saya harus segera kembali, Bu Bidan!”Jawab pria itu setengah memaksa.

Dengan perasaan dongkol dan kesal bercampur takut, Rosa terpaksa harus berjalan menuju rumahnya. Namun belum sempat melangkahkan kakinya dan ketika dia menoleh kebelakang, ternyata pria itu dan sepeda motornya sudah tak ada Iagi,padahal Rosa tak mendengar suara sepeda motor pria tadi.

Rosa segera berlari menuju rumah yang jaraknya Iumayan jauh itu. Dengan nafas tersengal-sengal dia tiba di rumahnya dan Iangsung menggedor-gedor pintu. Waktu ketika menunjukkan pukul 03.30 pagi.

Siswoyo membuka pintu dan terperanjat melihat keadaan isterinya ketika masuk ke rumah dalam keadaan ketakutan dan terkulai Iernas di hadapannya. Dia memapah isterinya ke ruang tamu, dan didudukkan dikursi.

Siswoyo mengambilkan air minum untuk isterinya. Setelah meminum air dingin, Rosa merasa agak tenang, lalu menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya.Siswoyo terpana mendengar kisah mencekam yang dialami isterinya itu.

Gema ayat-ayat suci Al-Qur'an begitu merdu terdengar dari masjid besar dikampung itu, menandakan azan Subuh sudah akan dikumandangkan. Kokok ayam  bersahut-sahutan menyongsongfajar pagi di ufuk tirnur. Rosa tertidur di pangkuan suaminya.

Karena penasaran ingin mengetahui dengan jelas rumah lelaki itu, keesokan harinya selepas Dzuhur, Siswoyo mengajak isterinya melacak tempat tinggal orang misterius yang baru saja di tolongnya malam itu.

 ”Kau masih ingatjalannya, Ros?” Tanya Siswoyo.

”Ingat, Bang!” Jawab Rosa mantap.

”KaIau begitu kita berangkat sekarang! " Ajak sang suami.

Rosa diboncengi suaminya menuju Kampung Sukamaju yang tak seberapa jauh dari kampung tempat tinggal mereka. Setibanya di Kampung Sukamaju, mereka berhenti di sebuah warung sederhana milik Pak Gatot, tokoh masyarakat daerah itu.

“Lho, Nak Sis, tumben mampir kewarung saya?" Ujar orang tua berambut putih itu kepada Siswoyo.

”lya, ini ada yang ingin kami lihat dan kebetulan jumpa Bapak, sekalian kami ingin menanyakan sesuatu, Pak!" Jawabnya.

Rosa menyela pembicaraan dan Iangsung menjelaskan maksud dan tujuan mereka. Orang tua yang dipanggil Pak Gatot mendengarkan sambil mengangguk angguk. Pelayan warung menyuguhkan the manis dan kue jumput jumput, makanan khas di kampung itu.

Sambil menghisap rokok, Pak Gatot menerangkan apa sebenarnya di balik peristiwa yang dialami Rosa.

”Secara ilmiah, di kampung sini tidak ada penduduk yang rumahnya bertangga,jadi percuma saja Nak Sis mencarinya,” demikian Pak Gatot memulai ceritanya.

”Jadi rumah dan penghuninya seperti yang telah saya tolong itu siapa dan dimana, Pak?” Tanya Rosa, bingung. Siswoyo mendengarkan dengan penuh tanda tanya.

”Mereka adalah makhluk penghuni Randu Alas di dekat kuburan di kampong ini. Jika kalian mau melihat kenyataannya, sekarang boleh saya antar ke sana, tapi melalui upacara khusus,” jawab Pak Gatot.

Karena penasaran, mereka minta tolong kepada Pak Gatot untuk membuktikannya.

 "Ya, kami ingin melihatnya, Pak! "Ujar Rosa.

Setelah menyiapkan sesaji, sore harinya Pak Gatot dan Siswoyo bersama Rosa berangkat dengan berjalan kaki menuju Randu Alas di dekat kuburan yang tidak seberapa jauh letaknya dari rumah orang tua itu.

Tak ada rumah tinggi bertangga di sekitar itu seperti pernah didatangi Rosa.Di tengah semak belukar dekat kuburan, Rosa dan suaminya hanya melihat sebatang pohon randu tua berusia sekitar 100 tahun.

Di dekat pohon ada sebuah batu ceper berbentuk seperti altar, dibalut semak belukar. Setelah membersihkan semak belukar yang membalut batu altar dan sekitarnya agar sekedar dapat dijadikan sebagai tempat mereka duduk, Pak Gatot membentangkan tikar pandan.

Dia meletakkan dupa dan sesaji di atas batu altar berdiameter 70 Cm. Pak Gatot memberi isyarat kepada Siswoyo dan Rosa agar duduk bersila tanpa berkata-kata, sementara dia membakar kemenyan pada dupa yang sudah disiapkan.

Bibirnya komat-kamit membaca mantra, sambil memegang ayam putih dan diasapi dupa yang mengepul menebar aroma kemeyan menambah suasana menjadi sakral.

Tak jelas mantra apa yang keluar dari mulut Pak Gatot, akan tetapi Siswoyo dan Rosa merasa ada getaran gaib di tempat itu. Ketika ayam putih dilepaskan, suami isteri yang duduk di belakang Pak Gatot sangat jelas, tiba-tiba melihat ayam tersebut tiba tiba hilang raib seperti ditelan pohon randu alas yang sangar itu.

Selanjutnya Pak Gatot mengoleskan minyak duyung ke kening Siswoyo dan Rosa, kemudian memercikkan ke arah pohon Randu iiu. Tak lama kemudian, pohon Randu Alas dan hutan belukar disekitarnya hilang dari pandangan mereka.

Lalu, mereka berdua melihat beberapa rumah beratapkan nipah berdinding kayu,satu di antaranya rumah panggung memakai tangga. Seorang wanita cantic sedang duduk dibendul pintu dengan kaki menjurai ke anak tangga.

Rosa terperanjat dan berbisik kepada suaminya, ”lnilah rumah orang yang kubilang kemarin, Bang. Ya, itu perempuan yang kusuntik. Aku tak lupa wajahnya."

Tak lama kemudian seorang lelaki setengah baya datang membawa seekor ayam putih mendatangi Pak Gatot. Tak jelas apa yang diblcarakannya, namun Rosa melihat lelaki itu memberikan sesuatu terbungkus dalam kain berwarna putih yang sudah kumal.

Pak Gatot menerima bungkusan itu sambil mengangguk, lalu lelaki itu masuk ke rumah diikuti perempuan yang duduk dibendul pintu tadi. Rosa melihat Pak Gatot memercikan minyak duyung ke arah rumah, kemudian mengoleskannya ke kening Siswoyo dan Rosa.

Ketika itu juga, suasana kembali seperti semula, semak belukar dan pohon Randu Alas. Pak Gatot pun berdiri lalu mengajak mereka kembali.

Setibanya di rumahnya, Pak Gatot menyerahkan bungkusan yang diterimanya dari lelaki tadi kepada Rosa,dan berpesan agar bungkusan itu baru boleh dibuka ketika mereka telah tiba di rumahnya.

Setibanya di rumah, Rosa sangat terkejut ketika membuka bungkusan tersebut ternyata berisi 20 lembar uang kertas ratusan ribu, sehingga berjumlah 2 juta rupiah. Karena kurang percaya, apakah uang itu asli atau palsu, Siswoyo ke kedai sebelah membeli sebungkus rokok.

Baca Juga => Kisah bercinta dengan hantu wanita cantik, padahal

Ternyata uang tersebut asil. Karena merasa gembira, mereka menggunakan sebagian uang itu dengan mengadakan kenduri selamatan dan memberi makan anak yatim.

”Mungkin inilah imbalan karena mengobati perempuan gaib kemarin. Ternyata ada juga demit yang berpikiran baik dan mengingat jasa orang lain," ujar Siswoyo

sambil geleng geleng kepala. Aneh, memang Tapi itulah kisah nyata misteri yang dialami oleh Bidan Rosa. Sumber: Misteri


Surakarta, Babinsa Kelurahan Sewu Sertu Suryanto dan Sertu Lalu Adijaya memberikan materi Dasar PBB (Peraturan Baris Berbaris) di SMPN 21 Surakarta.
PBB adalah suatu wujud latihan fisik yang diperlukan guna menanamkan kebiasaan berdisiplin dalam tata cara kehidupan yang diarahkan kepada terbentuknya suatu perwatakan / sifat tertentu. (18/7/2019)

Pelatihan PBB diberikan kepada siswa siswi baru di SMPN 21  kelurahan Sewu oleh Babinsa Kelurahan Sewu guna menumbuhkan dan membentuk karakter, sikap jasmani yang tetap tangkas, rasa disiplin dan tanggung jawab.

Materi yang diberikan adalah gerakan dasar PBB antara lain sikap sempurna, penghormatan, sikap istirahat, hadap kanan/kiri, serong kanan/kiri, lencang depan, setengah lengan, lencang kanan dan gerakan jalan serta tatacara upacara bendera.

Kepala sekolah SMPN 21 Kelurahan Sewu Mulyono mengucapkan terimakasih kepada TNI khususnya Babinsa yang telah memberikan pelatihan dasar PBB kepada siswa siswi baru dan berharap pelatihan dapat berlanjut ke depannya.






Surakarta, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, juga dikenal sebagai Masa Orientasi Siswa (MOS) atau Masa Orientasi Peserta Didik Baru, merupakan sebuah kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah setiap awal tahun ajaran guna menyambut kedatangan para peserta didik baru. Masa orientasi lazim dijumpai di tingkat SMP dan SMA.

Kali ini Babinsa Kel Jebres Koramil 04/Jebres Kodim 0735/Surakarta Sertu Suwardi dan Serda Teguh K hadir dalam acara Penutupan Masa Orentasi Siswa (MOS) di SMK Warga Jln. Kol Sutarto Kel Jebres Kec  Jebres Kota Surakarta, (18/7/2019).

Kegiatan MOS SMK Warga ini di laksanakan selama 4 hari, dengan tujuan untuk mengenalkan peserta didik baru, dalam lingkungan belajar yang baru agar memiliki kesiapan belajar yang baik. Mereka dikenalkan tentang fasilitas belajar, strategi belajar, kurikulum, tata tertib siswa, kultur akademik, pendidik dan tenaga kependidikan, serta teman-teman, baik seangkatan, maupun kakak-kakak kelasnya.

Dalam Kegiatan ini Babinsa juga memberikan ucapan selamat datang kepada siswa siswi baru, dan memotifasi agar para siswa lebih giat belajar untuk meraih prestasi setinggi-tingginya, Babinsa juga berpesan kepada kakak kelasnya, untuk selalu memberikan contoh yang baik terhadap siswa baru, sesuai tatatertib dan peraturan yang di tentukan oleh sekolah.

Heru Munandar S. Pd (Kepala Sekolah) Mengucapkan Banyak terimakasih kepada Babinsa yang sudah hadir dalam acara penutupan MOS, sehingga siswa siswi SMK Warga begitu antusias dan semangat dalam melaksanakan kegiatan tersebut.

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakankelompok masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy Dalam.

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, Suku Baduy bersama Suku Banten dikelompokan ke dalam Suku asal Banten dengan total jumlah 4.657.784 jiwa.


Etimologi

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah "Badui" dan bukan "Baduy".

Wilayah

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.

Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.

Kelompok masyarakat

Orang Kanekes pada tahun 2010
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:

Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum).
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:


Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat # Kanekes Dalam
Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

Asal usul

Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.


Lukisan seorang Baduy di Rijksmuseum Amsterdam sekitar tahun 1816 - 1846
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.

Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".


Struktur pemerintahan Kanekes
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.  (wikipedia.org)



Landak merupakan salah satu kabupaten yang berada di Kalimantan Barat yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Daerah ini tergolong maju lantaran memiliki kekayaan hasil alam di sepanjang sungainya yang membentang, seperti emas dan intan, dan potensi wisata alam yang mengagumkan, seperti air terjun Riam Melanggar maupun Gunung Sehaq.

Selain itu, Landak juga mempunyai obyek wisata sejarah yang tak kalah menariknya, yaitu Kraton Ismahayana.


Kraton Ismahayana terletak di Jalan Pangeran Sancanata, Desa Raja, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi kraton atau istana ini berada sekitar 50 meter di sebelah barat Sungai Landak yang membelah Kota Ngabang, atau sekitar 177 kilometer dari Kota Pontianak.

Riwayat Kraton Ismahayana ini dibilang cukup panjang. Dimulai dengan adanya ekspedisi ke daerah Melayu yang dijalankan oleh Kertanegara, seorang Raja Singasari, pada tahun 1275. Ekspedisi tersebut akhirnya dikenal dengan nama ekspedisi Pamalayu.



Tujuan awal ekspedisi Pamalayu adalah untuk menjadikan Swarnadwipa (sekarang Sumatera) sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol selain juga ingin mengamankan jalur ekonomi dan politik yang penting dari incaran bangsa Mongol. Di samping itu, Kertanegara juga memerintahkan Kebo Anabrang untuk menguasai Pahang di Semenanjung Malaka dan Balakapura maupun Tanjungpura di Warunadwipa (Kalimantan). Kemudian dilanjutkan ekspansi ke daerah lain di Nusantara. Namun sebelum tercapai semua tujuannya, Kertanegara akhirnya  terbunuh oleh  pasukan Jayakatwang pada tahun 1292.

Mendengar Raja Kertanegara wafat, ternyata tidak semua pasukan dalam ekspedisi Pamalayu bersedia kembali ke Jawa. Di bawah pimpinan Indrawarman, sebagian prajurit ekspedisi Pamalayu menetap di Swarnadwipa. Begitu pula halnya, dengan Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pemimpin salah satu rombongan, membelokkan armada pasukannya menuju Warunadwipa atau Nusa Tanjungpura.

Di pulau yang sekarang dikenal dengan Pulau Kalimantan ini, Ratu Sang Nata Pulang Pali I bersama pengikutnya awalnya singgah di daerah Padang Tikar, kemudian menyusuri Sungai Tenganap, dan akhirnya berlabuh di daerah Sekilap atau yang disebut juga Sepatah. Di tempat inilah, Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan Kerajaan Landak, dan nama Sekilap kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau Angrat (Anggerat) Batur.



Periode pemerintahan Kerajaan Landak di Ningrat Batur berlangsung 180 tahun (1292-1472) lamanya. Selama di Ningrat Batur, kerajaan ini dipimpin oleh tujuh raja, yaitu Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Pada masa pemerintahan Ratu Sang Nata Pulang Pali VII, Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu. Di istana ini, beliau menikahi Putri Dara Hitam yang kemudian menjadi permaisuri kerajaan. Dari perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII memiliki keturunan bernama Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang sekaligus merupakan putra mahkota. Setelah Raja Landak terakhir di Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putra mahkota kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana (memerintah tahun 1472-1542).

Pada era pemerintahan Pangeran Ismahayana, pusat kerajaan dipindahkan ke area hulu Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan nama Mungguk Ayu. Setelah menganut agama Islam, Pangeran Ismahayana berganti nama menjadi Raden Abdul Kahar dengan bergelar Raden Dipati Karang Tanjung. Dari perkawinannya dengan Nyi Limbaisari yang bergelar Raden Ayu diperoleh dua orang putra, yaitu Raden Tjili Tedung dan Raden Tjili Pahang yang keduanya kemudian menjadi raja Kerajaan Landak.

Pada masa Pangeran Kesuma Agung Muda (1703-1709), pusat pemerintahan Kerajaan Landak dipindahkan ke Bandung (suatu daerah dekat Munggu), yang selanjutnya pada masa pemerintahan Pangeran Sanca Nata Kesuma Muda (1768-1798) sebagai Sultan Landak XII, dipindahkan ke Ngabang, dengan mendirikan kraton yang terletak di Desa Raja Ngabang seperti yang ada sekarang ini.

Raja terakhir yang memerintah Kerajaan Landak adalah Pangeran Ratu Gusti Abdul Hamid bergelar Panembahan Gusti Abdul Hamid.
Pada tahun 1943, beliau wafat karena korban keganasan tentara pendudukan Jepang dalam peristiwa Mandor.

Selanjutnya Kerajaan Landak diperintah oleh Pangeran Mangku Gusti Afandi (Waka Raja XXVIII) hingga dihapuskannya sistem kerajaan oleh pemerintah Indonesia, menjelang dibentuknya pemerintahan swapraja Landak. ***


Sumber: kekunaan
Kepustakaan:
Tim Gunung Djati, 2008. Warisan Masa Lampau Indonesia: Kerajaan Singasari, Cirebon: CV. Gunung Djati
http://ujp.ucoz.com/Modul/Kepariwisataan/22-KALBAR.pdf
foto:ndaru.blogspot.com
Menurut Babad Ponorogo, berdirinya Kabupaten Ponorogo dimulai setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker. Pada saat itu Wengker dipimpin oleh Suryo Ngalam yang dikenal sebagai Ki Ageng Kutu. Raden Katong lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman (yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.

Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.
Dengan persiapan dalam rangka merintis kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.

Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong dan juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History. Pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia yang bersemedi, pohon, burung garuda dan gajah. Candrasengkala memet ini menunjukkan angka tahun 1418 Saka atau tahun 1496 M.

Sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu hari Minggu Pon, tanggal 1 Besar 1418 Saka bertepatan tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya melalui seminar Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 1996 maka penetapan tanggal 11 Agustus sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo telah mendapat persetujuan DPRD Kabupaten Ponorogo.

Sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo dibawah pimpinan Raden Katong , tata pemerintahan menjadi stabil dan pada tahun 1837 Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo hingga sekarang.

Ponorogo berasal dari dua kata yaitu pramana dan raga. Pramana berarti daya kekuatan, rahasia hidup, sedangkan raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa di balik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah / lawamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan menempatkan diri di manapun dan kapanpun berada. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa pono berarti melihat dan rogo berarti badan, raga, atau diri. Sehingga arti Ponorogo adalah "melihat diri sendiri" atau dalam kata lain disebut "mawas diri".

Asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan Pramana Raga yang akhirnya berubah menjadi Ponorogo

sumber referensi: ponorogo.go.id (id.wikipedia.org) dan berbagai sumber





Ketika Sunan Kalijaga mendapat tugas dari Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam, ia mencari cara yang tepat untuk menarik massa sebanyak-banyaknya. Akhirnya, Sunan Kalijaga ingin mengadakan pagelaran wayang kulit.

Namun, jauh sebelum mengadakan pagelaran wayang kulit, Sunan Kalijaga harus membuat wayang kulit itu dan sejumlah gamelan. Dalam mewujudkannya, Sunan Kalijaga pada awalnya dibantu oleh dua orang, yaitu Pangeran Kejaksaan dan Pangeran Kajoran. Pangeran Kejaksaan membantu dalam menyempurnakan wayang kulit beserta karakternya, sedangkan Pangeran Kajoran membantu dalam pembuatan gamelan untuk mengiringi wayang kulit, yang kelak disempurnakan oleh Sunan Bonang.
Kehadiran Sunan Bonang kala itu, sudah barang tentu membuat kemajuan bagi kelompok wayang kulit pimpinan Sunan Kalijaga.

Suara gamelan itu terdengar semakin enak dan begitu meresap di hati. Bagi Sunan Bonang sendiri tidak mengalami kesulitan dalam melatih para nayaga yang berjumlah lima orang itu. Ketika ada salah seorang nayaga yang jatuh sakit, Sunan Bonang langsung menggantikannya. Dengan ikut sertanya Sunan Bonang menjadi nayaga, latihan pun tampak semakin bersemangat.

Zaman dahulu jumlah nayaga memang ada lima orang sebab jumlah gamelan yang dibuat Pangeran Kajoran ada lima macam. Kelima gamelan tersebut antara lain:

1.       Kendang

Kendang berarti kedah tandang (harus maju). Maknanya, umat Islam harus maju. Maju pikirannya, maju ilmunya, dan harus mampu menjadi pimpinan. Apakah pemimpin bangsa, pemimpin daerah, pemimpin perusahaan, pemimpin sekolah, pemimpin pesantren, dan pemimpin-pemimpin lainnya. Sebagai pimpinan sudah barang tentu harus memiliki sifat-sifat, jujur, adil, terbuka, berwibawa, tegas, dan selalu memperhatikan keadaan yang dipimpinnya.

2.       Ketuk
Ketuk berarti kedah tuku (harus beli). Maknanya, orang-orang yang ingin menonton pertunjukan wayang kulit zaman dahulu harus membeli. Bukan membeli karcis masuk, tetapi yang dibeli adalah iman dan Islam. Alat bayarnya adalah dua kalimat syahadat. Ringkasnya, pada zaman wali, orang yang ingin menonton wayang harus mengucapkan syahadat dahulu di depan Sunan Kalijaga atau para wali lainnya.

3.       Kemong
Kemong berarti kedah momong (harus bisa mengasuh). Maknanya, umat Islam yang berilmu harus bisa mengasuh orang lain yang belum mengerti apa-apa supaya menjadi mengerti. Caranya dengan memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan. Dengan cara itu diharapkan, agar mereka bisa menjadi umat beragama yang patuh.

4.       Kening
Kening berarti kedah ningali (harus melihat. Maknanya, bila ada pagelaran wayang kulit seluruh masyarakat harus melihat sebab pagelaran wayang kulit di zaman wali itu bukan alat hiburan semata. Lebih penting dari itu adalah sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam.

5.       Gong
Gong kalau dipukuli bunyinya, “Gerr …” Bunyi suaranya berat dan panjang bergelombang. Musik apa pun bila tanpa gong atau bas tidak enak didengar. Menurut masyarakat Cirebon, bunyi ger tersebut mempunyai arti Allahu Akbar. Maknanya, kita sebagai umat Islam harus selalu ingat kepada Allah Yang Maha Pencipta. Cara yang terbaik adalah melalui salat lima waktu sebab setiap gerakan salat didahului dengan kata Allahu Akbar. Selain itu, bunyi ger … tersebut adalah bunyi terakhir setelah bunyi keempat gamelan di atas. Ini berarti bahwa pada akhirnya nanti semua umat akan kembali kepada Yang Maha Pencipta. ***

Sumber: Kekunaan
Samir Amirudin, 1999, Mitos Wayang Kulit,

_: CV. Dian Arta




Istana Alwatzikhoebillah merupakan salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Sambas yang banyak dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar daerah bahkan wisatawan mancanegara karena Istana Alwatzikhoebillah merupakan peninggalan bersejarah dan lambang kebesaran dan kejayaan kerajaan Islam di Sambas.



Istana Alwatzikhoebillah terletak di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi istana ini berada pada pertemuan Sungai Sambas Kecil, Sungai Subah, dan Sungai Teberau, yang berjarak sekitar 1 km dari pusat Kota Sambas atau 200 km dari Pontianak.



Sejarah mencatat, Istana Alwatzikhoebillah Kesultanan Sambas tumbuh dan berkembang berdasarkan latar belakang sejarah dari dua periode, yakni pada masa Hindu (Majapahit) dan Islam (Brunei).

Asimilasi dua periode akhirnya terjadi ketika anak perempuan dari Ratu Sepudak (kerajaan pada masa Hindu) yang bernama Raden Mas Ayu Bungsu, dengan Raden Sulaiman, anak sulung Pangeran Tengah yang beristrikan Ratu Suria Kesuma dari Sukadana.



Pangeran Tengah adalah adik kandung dari Sultan Abdul Jalilul Akbar yang memerintah negeri Brunai tahun 1598-1659, dan merupakan sultan di negeri Sarawak dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah pada tahun 1599. Dari perkawinan ini, akhirnya Raden Sulaiman diangkat menjadi Wazir Kedua dalam pemerintahan Ratu Anum Kesuma Yudha, yang tidak lain adalah menantu Ratu Sepudak dari perkawinannya dengan Raden Mas Ayu Anom, kakak perempuan dari istri Raden Sulaiman.







Selang beberapa tahun setelah penobatan Pangeran Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anum Kesuma Yudha untuk menggantikan Ratu Sepudak, timbullah perselisihan yang mulanya kecil saja di mana Wazir Pertama, yakni Pangeran Mangkurat, adik kandung Ratu Anum Kesuma Yudha, kurang menyenangi Raden Sulaiman, adik ipar Ratu Anum Kesuma Yudha, yang selalu berbuat kebaikan dengan rakyatnya.



Akhirnya, demi mengalah agar tak terjadi perang saudara, Raden Sulaiman mengambil keputusan untuk meninggalkan Ibu Kota Negeri Kota Lama. Setelah bermusyawarah, akhirnya Petinggi Nagur, Petinggi Bantilan, dan Petinggi Segerunding membawa Raden Sulaiman beserta rombongan menuju ke Simpang Sungai Subah. Sesampainya di sana, mereka mendirikan perkampungan yang diberi nama Kota Bandir.



Setelah kepergian Raden Sulaiman dari Kota Lama, ternyata banyak rakyat yang menyusul Raden Sulaiman pindah ke Kota Bandir dan mendirikan pemukiman di Kota Bandir. Akhirnya Kota Lama semakin hari semakin sepi. Kepergian rakyat ke Kota Bandir disebabkan mereka sudah tidak tahan lagi dengan perangai Pangeran Mangkurat yang berbuat semena-mena terhadap mereka.



Sementara Ratu Anum sudah tidak dipedulikan lagi oleh Pangeran Mangkurat. Seolah-olah yang menjadi raja adalah Pangeran Mangkurat, bukan Ratu Anum Kesuma Yudha. Sampai akhirnya Ratu Anum sendiri, sudah tidak tahan lagi dengan perangai adiknya sehingga mengambil keputusan untuk menginggalkan Kota Lama mencari tempat pemukiman yang baru. Brangkatlah Ratu Anum Kesuma Yudha meninggalkan ibu kota negeri Kota Lama dengan menggunakan tujuh puluh buah perahu yang lengkap dengan alat senjatanya.







Sebelum berangkat, Ratu Anum Kesuma Yudha menyuruh ketiga petinggi yang pernah mengantarkan Raden Sulaiman saat hijrah, untuk memanggil Raden Sulaiman, karena Ratu Anum ingin menyerahkan pemerintahan Negeri Sambas kepada Raden Sulaiman dan istrinya.



Tiga tahun lamanya Raden Sulaiman bermukim di Kota Bandir, maka timbul keinginannya untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Sungai Teberau, tepatnya di Lubuk Madung.

Melalui musyawarah keluarga, di Lubuk Madung inilah maka pada hari Senin, 10 Zulhijjah 1040 H/9 Juli 1631 M, Raden Sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Sambas Islam yang pertama dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I.



Setelah Raden Bima, anak sulung Sultan Muhammad Tsafiuddin I, dinobatkan menjadi Sultan Sambas Islam yang kedua pada 10 Muharam 1080 H/10 Juni 1669 M dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin, tak lama selang bertahta di Lubuk Mandung, maka Sultan Muhammad Tajuddin berkeinginan untuk memindahkan ibu kota kerajaan dari Lubuk Mandung ke Muara Ulakan, yaitu di persimpangan Sungai Sambas Kecil, Sungai Subah, dan Sungai Teberau. Ibu kota kerajaan dibangun lengkap dengan pagar dan parit, serta istana untuk pertama kalinya didirikan tepat menghadap Sungai Sambas Kecil.



Sedangkan, bangunan istana yang berdiri saat ini merupakan pembangunan kembali pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin  (1931-1943). Istana ini dibangun pada 15 Juli 1933 dan mulai ditempati pada 6 Juli 1935.



Kompleks Istana Alwatzikhoebillah yang didirikan di atas areal seluas sekitar 2 hektar berdiri sejumlah bangunan yang memiliki fungsi dan peruntukkannya sendiri. Sebelum memasuki bangunan utama istana yang menghadap ke barat, pengunjung akan memasuki gerbang segi delapan (pendopo) yang memiliki delapan jendela yang menandakan arah angin, dengan hamparan alun-alun seluas lapangan sepak bola.



Di tengah alun-alun tersebut, terdapat tiang bendera berbentuk tiang perahu layar, dan di bawahnya terdapat tiga meriam canon yang konon didapatkan dari pasukan Inggris.



Di sisi sebelah barat daya alun-alun, terdapat  Masjid Agung Jamik Sultan Muhammad Tsafiuddin II yang dibangun pada hari Jumat, 1 Muharram 1303 H bertepatan dengan 11 Oktober 1885. Bangunan masjid terlihat kokoh, dan bahan-bahannya terbuat dari kayu belian.



Setelah melihat masjid, pengunjung bisa melanjutkan melangkah menuju ke bangunan utama istana. Namun sebelum memasuki gerbang utama yang berlantai dua, pengunjung bisa menemukan dua balai paseban yang berada di depan gerbang utama sebelah kiri dan kanan. Dulu, balai paseban ini digunakan sebagai tempat pertunjukkan, pameran, dan wayang kulit. Selain itu, juga digunakan oleh orang untuk istirahat sebelum menghadap sultan.



Setelah melintas masuk gerbang utama, pengunjung masuk ke bangunan utama istana yang terdiri atas bangunan utama yang diapit oleh dua bangunan berbentuk limasan yang digunakan untuk rumah pengawal. Dari bangunan utama mau menuju ke bangunan pengapit tersebut dihubungkan oleh bangunan penghubung beratap seperti yang ada di rumah sakit pada umumnya.



Bangunan limasan yang berada di sebelah utara bangunan utama istana, pada zaman dulu selain dipergunakan untuk rumah pengawal, di ruangan paling depan sering digunakan oleh sultan sebagai tempat bersemedi atau bertapa, juga digunakan sebagai tempat penyimpanan pusaka, dan di bagian belakangnya digunakan untuk garasi. Sedangkan, pada bangunan limasan yang berada di sebelah selatan bangunan utama istana, selain digunakan untuk rumah pengawal juga difungsikan sebagai dapur istana.



Di bangunan utama istana ini juga berbentuk limasan, dan diketahui sebagai rumah sultan. Memasuki rumah sultan, pengunjung akan langsung membaca Alwatzikhoebillah di atas teras sebagai penanda bahwa bangunan ini merupakan Istana Alwatzikhoebillah. Di atas tulisan tersebut terdapat lambang kuda laut di atas atap istana, yang menandakan bahwa bidang yang menyokong perekonomian kesultanan saat itu adalah bahari.



Di bangunan rumah sultan, terdapat empat cermin besar di setiap sudut ruang tamu, dan foto koleksi Kesultanan Sambas. Di kamar sultan terdapat tempat peristirahatan yang dihiasi dengan kain warna kuning. Terdapat pula busana atau pakaian kebesaran sultan yang disimpan dalam sebuah kotak kaca tertutup, payung ubur-ubur, tombak canggah, meriam beranak, pedang sultan, tempayan keramik dari Tiongkok, dan kaca kristal dari Inggris dan Belanda.



Tepat di belakang rumah sultan, terdapat menara air yang berfungsi sebagai tandon air sebelum dialirkan melalui pipa ke seluruh kompleks istana yang telah dipasang instalasi pipa air. Searah menara air di sebelah utara, atau tepatnya berada di sebelah timur laut dari kompleks istana, terdapat kolam pemandian yang dulunya digunakan sebagai tempat pemandian para putri sultan.



Setelah puas berkeliling Istana Alwatzikhoebillah, pengunjung akan menyadari betapa istana ini mempunyai peran yang menonjol di masa lampau sebagai salah satu pusat budaya di Sambas. Berwisata ke Istana Kesultanan Sambas ini memang bisa cukup menyingkap kejayaan Sambas di masa lampau, dan sekaligus memahami sejarah anak negeri ini. ***



Kepustakaan:

Urai Riza Fahmi, 2013. Selayang Pandang Sejarah Kerajaan Islam Keraton Sambas, Bandung: CV Yrama Widya

KOMPAS Edisi Jumat, 31 Oktober 2014